PERKAWINAN:
PRINSIP-PRINSIP,SYARAT,RUKUN,PEMINANGAN
“Diajukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam”
Dosen
Pengampu : Yasin
Baidi,S.Ag.,M.Ag
Disusun Oleh :
Fasmawi saban sihabudin : (11340184)
PRODI
ILMU HUKUM
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2012
A.PENGERTIAN PERKAWINAN
1.Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam
Secara Etimologi Pernikahan bentukan dari kata benda Nikah
kata itu berasal dari kata bahasa arab yaitu Nikkah (bahasa arab: النكاح )
yang berarti perjanjian perkawinan
; berikutnya kata itu berasal dari kata lain
dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa arab: نكاح) yang
berarti persetubuhan.Secara
etimologi juga, nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab artinya adalah
mendekap atau berkumpul.[1]
Sedangkan secara terminologi, nikah adalah
akad atau kesepakatan yang ditentukan oleh syara’ yang bertujuan agar seorang
laki-laki memiliki keleluasaan untuk bersenang-senang dengan seorang wanita dan
menghalalkan seorang wanita untuk bersenang-senang dengan seorang laki-laki.
Menurut Syara’, nikah adalah aqad
antara calon suami isteri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami
isteri. Aqad nikah artinya
perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan
seorang laki-laki.
Menurut pengertian fukaha, perkawinan adalah aqad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadl nikah atau
ziwaj yang semakna keduanya.
2.Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974
Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan adalah :
“Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pengertian perkawinan terdapat lima unsur di dalamnya adalah
sebagai berikut :
a. Ikatan lahir bathin.
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita.
c. Sebagai suami isteri.
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. [2]
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 1 merumuskan bahwa ikatan suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan
dari agama yang dianut suami isteri.
B.PRINSIP-PRINSIP PERKAWINAN:
Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam
dan Undang-undang
Perkawinan.
Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam
perkawinan, yaitu :
a. Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak
yang mengadakan perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh
dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan
perkawinan atau tidak.
b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria,
sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang
harus diindahkan.
c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun
yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu
keluarga atau rumah tangga tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
e. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah
tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
Adapaun
prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan,
disebtkan didalam penjelasan umumnya sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai
kesejahteraan spiritual dan material.
b. Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat
dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan Agama.
d. Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai
istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan
perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus
dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur,
karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka
untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya
perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur
yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran
yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi,
berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur
untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16
tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip
untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada
alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta
harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan
Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan
menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan
sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.[3]
Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang
bersumber dari alquran dan alhadist, yang kemudian di tuangkan dalam
garis-garis hukum melalui undang-undanhg no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan
kompilasi hukum islam tahun 1991 mengandung 7 asas kaidah hukum yaitu sebagai
berikut:
1.
Asas membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal
2.
Asas keaabsahan perkawinan
di dasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan
perkawinan dan harus di catat oleh petugas yang berwenang
3.
Asas monogami terbuka
4.
Asas calon suami dan isteri
telah matang jiwa raganya dapat mel;angsungkan perkawinan, agar mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat
sehingga tidak berfikifr kepada perceraian
5.
Asas mempersulit terjadinya
perceraian
6.
Asas keseimbangan hak dan
kewajiban antara suami dan isteri baik dalam kehidupan rumah tangga dan kehidupan masyrakat
7.
Asas pencatatan perkawinan.[4]
C.RUKUN PERKAWINAN
Rukun dan syarat adalah sesuatu bila
ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak syah.
Perkawinan
sebagai perbuatan hukum tentunya juga harus memenuhi rukun dan syarat-syarat
tertentu. Rukun nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu
melangsungkan perkawinan. Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat perkawinan,
artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak terpenuhi maka tidak terjadi
suatu perkawinan.Rukun
adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu takkan ada tanpanya.Dengan
demikian, rukun perkawinan adalah ijab dan kabul yang muncul dari keduanya
berupa ungkapan kata (shighah). Karena dari shighah ini secara langsung
akan menyebabkan timbulnya sisa rukun yang lain:
1.
Ijab:
ucapan yang terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak
untuk menunjukkan keinginannya membangun ikatan.
2.
Qabul:
apa yang kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan kerelaan/
kesepakatan/ setuju atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama.Dari
shighah ijab dan qabul, kemudian timbul sisa rukun lainnya,
yaitu:
3.
Adanya Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah
yaitu mempelai pria dan wanita. Adanya
wali dari calon istri.
4.
Adanya dua orang saksi.
Perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah
dianggap sah, apabila perkawinan tersebut dihubungkan dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 pasal 2 ayat 2 tahun 1974 tentang perkawinan itu
berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku." Dipertegas dalam dalam undang-undang
yang sama pada pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan
bila pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16
tahun. Jika masih belum cukup umur, pada pasal 7 ayat 2 menjelaskan bahwa
perkawinan dapat disahkan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau
pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
D. SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Syarat nikah adalah segala sesuatu yang
pasti dan harus ada ketika pernikahan berlangsung,tetapi tidak termasuk pada
salah satu bagian dari hakekat pernikahan.
1. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.
Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 meliputi :
a. syarat-syarat materiil.
1) Syarat materiil secara umum adalah sebagai
berikut :
a. Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai.
b. Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai
19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun.
c.
Tidak
terikat tali perkawinan dengan orang lain.
2) Syarat materiil secara khusus, yaitu :
a.
Tidak
melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
pasal 8, pasal 9 dan pasal 10, yaitu larangan perkawinan
b.
Izin
dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun.
b.Syarat-syarat
Formil.
1.
Pemberitahuan
kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan.
2.
Pengumuman
oleh pegawai pencatat perkawinan.
3.
Pelaksanaan
perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
4.
Pencatatan
perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
2. Syarat-syarat Perkawinan
Menurut Hukum Islam.
Perkawinan
dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun
adalah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam
setiap perbuatan hukum.
Menurut Hukum Islam
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah adalah :
a. Syarat Umum.
Perkawinan
tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat (221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan
pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus
laki-laki Islam boleh mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur’an surat An-Nisa
ayat (22), (23) dan (24) tentang larangan perkawinan karena hubungan darah,
semenda dan saudara sesusuan.
b. Syarat Khusus.
1) Adanya
calon mempelai laki-laki dan perempuan.
2) Harus
ada wali nikah.
3) Saksi.
4) Ijab
Kabul.
E.PEMINANGAN
·
Pengertian peminangan:
Peminangan
adalah langkah awal menuju perjodohan antara antara seorang pria dengan seorang
wanita, peminangan juga yaitu upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau
pihak perempuan ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria
dengan seorang wanita denga cara-cara yang baik (ma’ruf)(Pasal 1 bab 1 huruf a
KHI).
Sedangkan dalam kompilasi Hukum Islam yang
dimaksud dengan Peminangan adalah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara
seorangeorang wanita.
Kata “peminangan” berasal dari kata
“pinang”, meminang (kata kerja) yang mempunyai sinonim dengan kata melamar yang
dalam bahasa Arab disebut khithbah. Secara etimologi, meminang atau
melamar mempunyai arti; “meminta wanita untuk dijadikan isteri (bagi diri
sendiri atau orang lain)”Secara terminologi, peminangan ialah: “Kegiatan upaya
ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan wanita”, atau
“seorang laki-laki meminta-meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi
isterinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah
masyarakat”.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan peminangan adalah upaya seorang laki-laki atau wakilnya meminta
kepada pihak perempuan yang bukan mahramnya untuk dijadikan isterinya, dengan
cara tertentu yang telah berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Seorang perempuan boleh dipinang apabila
memenuhi dua syarat, yaitu:
a. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan hukum yang
melarang dilangsungkannya perkawinan.
b. Belum dipinang orang lain secara sah.
Status hukum meminang menurut jumhur ulama
fiqh adalah sunat (tidak wajib). Akan tetapi, Daud al Dhahiri menyebutkan
wajib. Silang pendapat ini disebabkan, apakah perbuatan Rasulullah SAW yang
berkenaan dengan masalah meminang diartikan wajib atau sunat. Namun demikian,
bila melihat kepada bentuk lafal yang berhubungan dengan masalah meminang, baik
yang terdapat dalam al-Quran maupun Hadits, tidak ditemukan lafal perintah yang
akan melahirkan hukum wajib.
Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
“Pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukkan (arti)
wajib, dan tidak menunjukkan kepada (arti) selain wajib kecuali terdapat qarinah-nya”.
Beragumentasi kepada kaidah ushuliyah di atas, dapat ditegaskan bahwa
hukum meminang hanyalah sunat. Karena perbuatan tersebut merupakan ketetapan
Allah dan Rasul yang tidak dalam bentuk perintah. [5]
·
Syarat-syarat
Peminangan:
Syarat
peminangan tidak dapat di pisahkan dari halangannya karena syarat dan halangan
peminangan di uraikan dalam suatu sub pembahasan. Peminangan dalam bahasa
Al-Qur’an disebut “hitbah” hal ini diungkapkan dalam Q.S. Al-Baqarah (2:235).[6]
DAFTAR PUSTAKA
Pasal
1 undang-undang 1974 tentang Perkawinan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan. diakses pada tanggal 1 Maret 2012 pada pukul 09.30
http://titikbalik.wordpress.com/2007/07/17/prinsip-prinsip-dasar-perkawinan./ diakses pada tanggal 1 Maret 2012 pada pukul 09.30
Ali,Zaimudin.2006.
Hukum Perdata Islam Indonesia . Jakarta:Sinar Grafika.
Asmawi,Mohammad.2004.Nikah
dalam Perbincangan dan
Perbedaan.Yogyakarta: Darussalam Perum Griya Suryo.
[2]
Pengertian perkawinan berdasarkan Pasal 1 undang-undang 1974 tentang Perkawinan
[4] Zainnudin,Ali.Hukum
Perdata Islam Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika,2006,ctakan pertama,halaman7
[5]
Mohammad,Asmawi.Nikah dalam perbincangan dan perbedaan.Yogyakarta:Darussalam
Perum Griya Suryo Asri F-10.Cetakan 1,halaman 38
[6]
Zainnudin,Ali.Hukum Perdata Islam Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika,2006,ctakan
pertama,halaman 9-10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar