xxx

NavBar

Search This Blog

coolesr

Text

Minggu, 24 Desember 2017

DALAM peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya, khususnya wilayah Garut selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih jika dikaitkan dengan kerajaan atau dengan isu penyebaran ajaran Islam. Sebab, dipungkiri ataupun tidak, di wilayah Kabupaten Garut tidak pernah berdiri kerajaan besar sekaliber Galuh Pakuan, Sumedang Larang, Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. Akan tetapi, realitas tersebut tidak menutup kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri kerajaan kecil yang dijadikan basis penyebaran agama Islam di wilayah Garut Selatan yang terjadi sekira awal abad ke 13.
Situs Gunung Nagara
BATU Nisan, salah satu peninggalan yang masih tersisa.
Berbicara tentang gunung, pikiran kita tertuju pada sebuah gunung cukup tinggi. Sebenarnya, Gunung Nagara bukanlah gunung dalam artian para pecinta alam. Ia lebih merupakan bukit yang memiliki keragaman flora cukup unik. Di tempat tersebut masih banyak terdapat pohon burahol, menyan, kananga, bintanu, kigaru, binong serta masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang mungkin secara ilmiah belum dikenal, dan belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Kekayaan fauna juga dimiliki hutan Gunung Nagara. Kalau kebetulan, kita akan menemukan burung rangkong (Buceros rhinoceros) yang sedang asyik berduaan bersama pasangannya di atas pohon yang cukup tinggi. Tubuhnya yang cukup besar diperindah dengan mahkota. oranye di atas kepalanya. Bagi yang pertama kali menemukan burung ini, mungkin akan merasa aneh, sebab ketika burung tersebut akan terbang, biasanya memberi aba-aba dengan suara “gak” yang keras mirip suara monyet. Lantas, ketika sudah tinggal landas, kepakan sayapnya mengeluarkan suara yang dramatis. Selain burung Rangkong, masih terdapat hewan langka lainnya semisal kambing hutan, landak, kucing hutan, macan kumbang, walik, surili, dan beragam jenis kupu-kupu.
Secara geografis, ia terletak di wilayah Desa Depok-Cisompet-Garut. Menuju daerah tersebut relatif gampang, dari terminal Garut kita hanya tinggal naik elf jurusan Pamengpeuk-Garut dengan membayar ongkos RP. 25.000,00, atau jika berangkat dari Bandung, kita tinggal naik bus tiga perempat jurusan Bandung-Pameungpeuk dengan membayar ongkos Rp 30.000,00. Kita minta diturunkan di Kampung Pagelaran. Dari kampung tersebut, bukit gunung Nagara sudah tampak begitu jelas, namun sekilas tidak ada jalan menuju bukit tersebut, yang terlihat hanyalah tebing cadas yang menurut pemikiran normal tidak mungkin untuk didaki tanpa peralatan panjat.
Dari Kampung Pagelaran, kita tinggal berjalan kaki menuju Kampung Depok dengan jarak sekira satu kilometer. Menurut hikayat, nama Depok dikaitkan dengan padepokan. Artinya, perkampungan tersebut pada awalnya merupakan padepokan tempat peristirahatan para gegeden. Sebenarnya, menurut Ki Ecep (sesepuh kampung), pada era enam puluhan, kampung Depok masih merupakan perkampungan dengan tradisi yang sama dengan
Baduy. Akan tetapi, setelah kampung tersebut dibumihanguskan gerombolan DI/TII, terjadi perubahan cukup signifikan. Sekarang tidak akan lagi terlihat rumah-rumah panggung berjajar menghadap kiblat.
Perjalanan Pagelaran-Depok akan melintasi sungai Cikaso. Bagi mereka yang suka akan keindahan alam, alangkah baiknya terlebih dahulu mengunjungi Batu Opak yang berada kurang lebih setengah kilometer ke arah hulu. Di tempat tersebut kita akan menyaksikan fenomena geologis, yakni batu yang berjajar secara sinergis dari arah bukit menuju sungai dengan bentuk mirip seperti opak. Penduduk sekitar menghubungkan fenomena geologis tersebut dengan legenda Sangkuriang. Yaitu, ketika Sangkuriang akan menikah, Embah
Rajadilewa (penguasa daerah selatan) mau membantu nyambungan. Akan tetapi, baru saja mereka sampai diLeuwi Tamiang, dari arah timur terlihat fajar, sehingga mereka menyimpan barang bawaannya di tempat tersebut, hingga ia berubah menjadi batu.
Bagi mereka yang baru mengunjungi tempat ini, dikampung Depok inilah bisa menemui Ki Sanang (kuncen) untuk minta diantar. Dari Depok, kita melanjutkan perjalanan menuju Cidadap dengan jarak kurang lebih setengah kilometer, perjalanan ini melewati pesawahan yang tidak terlalu luas. Di Cidadap inilah terdapat mata air yang dikeramatkan. Secara nalar, air dapat menyegarkan badan. Perjalanan baru akan mendapat tantangan manakala kita mulai merayap mendaki jalanan setapak yang cukup terjal (Cidadap-Gunung Nagara). Terkadang kita harus melewati jalanan yang kemiringannya mencapai 75 derajat. Dari Cidadap, kita tidak akan menjumpai jalanan yang datar, kanan kiri jalan masih terdapat banyak pohon besar, sehingga walaupun kelelahan kita bisa beristirahat cukup santai. Perjalanan ini jika ditempuh dengan santai paling-paling memakan waktu sekira setengah jam.
Sesampainya di puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah sampai di kompleks pemakaman. Tempat itu dikenal dengan pusaran ka hiji (kompleks pertama dikenal dengan nama Padepokan Gunung Nagara) yang di tempat ini terdapat dua puluh enam kuburan. Kuburan-kuburan tersebut relatif besar-besar. Setiap kuburan dihiasi batu “sakoja” dan batu nisan. Dinamai sakoja, karena batu tersebut berasal dari sungai Cikaso diambil dengan menggunakan koja (kantong). Kalau kita perhatikan secara seksama, komplek pekuburan tersebut tersusun secara rapi membentuk sebuah struktur organigram. Lima belas meter ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran kadua. Di tempat ini hanya terdapat dua kuburan. Sekitar dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran katilu yang hanya terdiri dari dua kuburan. Konon kabarnya, kuburan ini merupakan kuburan Embah Ageung Nagara dan patihnya.
Menurut Kepala Desa Depok, Abdul Rasyid, tiga pusaran tersebut melambangkan Alquran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang terdiri dari 26 kuburan melambangkan bagian Mufassal (surat-surat) pendek, pusaran kedua melambangkan al-mi’un dan pusaran ketiga melambangkan sab’ul matsani. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan menambah kuburan. Lebih lanjut, ia mengatakan kalau pada pusaran pertama itu terdiri dari para pengikut/pengawal yang salah satu di antaranya perempuan, pusaran kedua diyakini sebagai makam asli Prabu Kian Santang (Eyang Brajasakti) dan istrinya Ratu Gondowoni, dan pusaran ketiga merupakan kuburan Prabu Siliwangi dan patihnya. Sebenarnya, jika kita mau melanjutkan perjalanan ke arah utara, kita akan menemukan sebuah kuburan yang terpisah, konon kabarnya kuburan tersebut merupakan kuburan seorang berbangsa Arab (Syeh Abdal Jabar).
Lebih jauh, menurut Abdul Rasyid, sebenarnya situs Gunung Nagara terdiri atas beberapa peninggalan dalam bentuk barang. Namun sayang, naskah aslinya terbakar manakala gorombolan (DI/TII) menyerang Kampung Depok, sedangkan beberapa naskah lainnya yang tersisa dan barang-barang peninggalan sudah menjadi milik orang Tasik. Barang-barang yang masih ada, terpencar diperseorangan.
Bagi para peziarah yang terbiasa melakukan semedi, disyaratkan baginya untuk melakukan ritual mandi diSumur Tujuh. Sumur tersebut berada sekira setengah kilometer ke arah lembah. Sumur itu berada tepat didekat sungai kecil. Sebenarnya, sumur itu merupakan kubangan-kubangan kecil akibat dari resapan air.
Legenda Kian Santang
Menurut sebagian besar masyarakat Depok, Situs Gunung Nagara erat kaitannya dengan penyebaran Islam diwilayah Garut Selatan yang disebarkan atas jasa Prabu Kian Santang. Malahan diklaim kalau sesungguhnya daerah Leuweung Sancang merupakan tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (raja Pajajaran yang terkenal), sehingga begitu melegenda kalau di leuweung tersebut terdapat harimau jadi-jadian, bekas pasukan Prabu Siliwangi. Sementara itu, walaupun terdapat daerah yang diklaim sebagai tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi, penduduk Garut selatan meyakini bahwa kuburan asli Prabu Kian Santang itu berada di kompleks pemakaman Gunung Nagara.
Menurut mereka, keberadaan kuburan lainnya hanya merupakan tempat persinggahan Prabu Kian Santang. Misalnya saja pemakaman Godog di daerah Suci-Karangpawitan-Garut. Mereka menyatakan kalau sesungguhnya di tempat tersebut Prabu Kian Santang hanya tinggal berkontemplasi merenungi kekeliruannya dalam melakukan sunat terhadap orang yang masuk Islam. Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamakan “Godog” yang mengandung arti tempat penyucian jiwa atau dalam istilah pewayangan “Kawah Candradimuka”, dan karenanya pula tempat ketika ia turun dari daerah tersebut dinamakan “Suci”, yang berarti setelah melakukan kontemplasi ia kembali pada kesucian yang kemudian melanjutkan perjalanan menuju Garut Selatan.
Pengamat sejarah Deddy Effendie menyatakan, sebagian besar buku sejarah Indonesia tentang penyebaran agama Islam di Tatar Sunda dihubungkan dengan tokoh Fatahilah sebagai utusan Demak, yang diidentikan dengan Sunan Gunung Jati keponakan dari Prabu Walangsungsang pendiri Kesultanan Cirebon ketika pemerintahan Padjadjaran dikuasai Prabu Surawisesa atau Ratu Sanghiang (1521-1535 M).
Surawisesa pamannya Sunan Gunung Jati sedangkan Sunan Gunung Jati adalah cucu Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Padjadjaran Sri Sang Ratu Dewata, dari Lara Santang yang sejak balita mendapatkan pendidikan Islam dari ibunya Subanglarang, ujar Deddy Effendie kepada garut.go.id di Garut, Selasa.
Dia menyebutkan, Istri Prabu Siliwangi yang dikenal Nyi Mas Ambetkasih, Subanglarang dan Nyi Mas Kentringmanik Mayang Sunda. Subanglarang melahirkan tiga orang anak terdiri Rakeyan Santang Parmana, Walangsungsang dan Lara Santang, kemudian Kentringmanik Mayang Sunda melahirkan putra Mahkota yang menjadi Raja Padjadjaran generasi kedua yakni Prabu Surawisesa.
Sementara itu, Rakeyan Santang Parmana memiliki banyak nama antara lain Maulana Ifdil Hanafi, Haji Tan Eng Hoat, Haji Abdullah Iman atau Sunan Rohmat atau Sunan Godok atau Kean Santang.
Tokoh inilah yang disebut-sebut dari sumber tradisi Garut sebagai putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kean Santang diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran, petilasan yang bertalian dengan Kean Santang berada di Godog Garut berupa makam, gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.
Menurut Deddy Effendie, berdasarkan sumber tradisi Garut diceriterakan Kean Santang di Islamkan oleh Syaidina Ali (Ali bin Abi Thalib) dan memiliki pedang Nabi Besar Muhammad SAW.
Dari keterangan itu, kita dihadapkan pada kebingungan luar biasa seperti Prabu Siliwangi hidup pada abad ke 15-16 M atau menjadi penguasa Pakuan Padjadjaran pada 1482-1521 M, sedangkan Ali bin Abi Thalib hidup pada zaman Rasulallah yakni permulaan tahun Hijrah atau abad ke-6 M (579 M). Maka, rentang waktu 10 abad itu tidak masuk akal, terlebih lagi adanya anggapan bahwa Prabu Siliwangi menentang Islam, padahal istrinya Subanglarang beragama Islam, yang mendapatkan pendidikan agama sedari belia oleh Syeh Quro dipesantren Quro.
“Info Terbaru”
Berdasarkan informasi terbaru dari tokoh Ulama Mesir yang dikemukakan kepada Ir H. Dudung Fathirrohman menyatakan, Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh.
Maka jika meneliti naskah Pangeran Wangsakerta besar kemungkinan Tokoh dari Asia Timur Jauh itu adalah Prabu Kretawarman (561-628 M) Maharaja Tarumanagara generasi VIII yang memiliki dua orang putri, pertama Putri dari Calankanaya India, dan istri yang kedua berasal dari Sumatera tidak memiliki anak sehingga mengangkat anak kemudian diakuinya sebagai anaknya sendiri bernama Brajagiri.
Kretawarman merasa dirinya mandul, tahta Kerajaan diwariskan kepada adiknya Prabu Sudawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat memiliki keturunan dari anak seorang pencari kayu bakar (Wang Amet Samidha) Ki Prangdami bersama istrinya Nyi Sembada tinggal di dekat hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut.
Putrinya Setiawati dinikahi Kretawarman yang hanya digaulinya selama sepuluh hari, setelah itu ditinggalkan dan mungkin dilupakan.
Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu menuntut kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang ketika melahirkan meninggal dunia.
Anaknya oleh Ki Parangdami dopanggil Rakeyan mengingat keturunan seorang Raja, kelak Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke tanah suci hanya untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali(42) yang dikabarkan memiliki kesaktian ilmu perang/ ilmu berkelahi yang tinggi.
Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat berkelahi dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir.
Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian meneruskan berguru kepada Syaidina Ali, ujar Deddy effendie.
Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung / hutan Sancang dan gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali. Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudawarman, yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat Sang Kretawarman) turut memimpin pasukan. Rakeyan Sancang unggul, Prabu Sudawarman sempat melarikan diri yang dikejar Rakeyan Sancang, tapi tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh pertempuran terhenti kemudian mereka saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang anak Sang Kretawarman. Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera dari mulut ke mulut yang menyatakan Kean Santang mengejar Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan.
Kisah Rakeyan Sancang itupun setelah sepuluh abad kemudian terungkap kembali, ketika Walangsungsang dari Cirebon menyusuri sungai Cimanuk sampai ke hulu sungai kemudian menemukan pedang yang disebut-sebut sebagai pedang Nabi Muhammad SAW, pedang itu milik Rakeyan Santang atau Kean Santang, pemberian Ali bin Abi Thalib ketika membantu Ali dalam peperangan menagakkan Syariat Islam, Walahualam, kata Deddy Effendie mengakhiri paparan telaahan sejarahnya itu.
Dari data-data sepintas tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan kalau sesungguhnya Gunung Nagara menyimpan rahasia yang harus segera dieksploitasi, baik bagi kepentingan pendidikan ataupun bagi kepentingan pariwisata.

Minggu, 24 Desember 2017

DALAM peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya, khususnya wilayah Garut selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih jika dikaitkan dengan kerajaan atau dengan isu penyebaran ajaran Islam. Sebab, dipungkiri ataupun tidak, di wilayah Kabupaten Garut tidak pernah berdiri kerajaan besar sekaliber Galuh Pakuan, Sumedang Larang, Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. Akan tetapi, realitas tersebut tidak menutup kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri kerajaan kecil yang dijadikan basis penyebaran agama Islam di wilayah Garut Selatan yang terjadi sekira awal abad ke 13.
Situs Gunung Nagara
BATU Nisan, salah satu peninggalan yang masih tersisa.
Berbicara tentang gunung, pikiran kita tertuju pada sebuah gunung cukup tinggi. Sebenarnya, Gunung Nagara bukanlah gunung dalam artian para pecinta alam. Ia lebih merupakan bukit yang memiliki keragaman flora cukup unik. Di tempat tersebut masih banyak terdapat pohon burahol, menyan, kananga, bintanu, kigaru, binong serta masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang mungkin secara ilmiah belum dikenal, dan belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Kekayaan fauna juga dimiliki hutan Gunung Nagara. Kalau kebetulan, kita akan menemukan burung rangkong (Buceros rhinoceros) yang sedang asyik berduaan bersama pasangannya di atas pohon yang cukup tinggi. Tubuhnya yang cukup besar diperindah dengan mahkota. oranye di atas kepalanya. Bagi yang pertama kali menemukan burung ini, mungkin akan merasa aneh, sebab ketika burung tersebut akan terbang, biasanya memberi aba-aba dengan suara “gak” yang keras mirip suara monyet. Lantas, ketika sudah tinggal landas, kepakan sayapnya mengeluarkan suara yang dramatis. Selain burung Rangkong, masih terdapat hewan langka lainnya semisal kambing hutan, landak, kucing hutan, macan kumbang, walik, surili, dan beragam jenis kupu-kupu.
Secara geografis, ia terletak di wilayah Desa Depok-Cisompet-Garut. Menuju daerah tersebut relatif gampang, dari terminal Garut kita hanya tinggal naik elf jurusan Pamengpeuk-Garut dengan membayar ongkos RP. 25.000,00, atau jika berangkat dari Bandung, kita tinggal naik bus tiga perempat jurusan Bandung-Pameungpeuk dengan membayar ongkos Rp 30.000,00. Kita minta diturunkan di Kampung Pagelaran. Dari kampung tersebut, bukit gunung Nagara sudah tampak begitu jelas, namun sekilas tidak ada jalan menuju bukit tersebut, yang terlihat hanyalah tebing cadas yang menurut pemikiran normal tidak mungkin untuk didaki tanpa peralatan panjat.
Dari Kampung Pagelaran, kita tinggal berjalan kaki menuju Kampung Depok dengan jarak sekira satu kilometer. Menurut hikayat, nama Depok dikaitkan dengan padepokan. Artinya, perkampungan tersebut pada awalnya merupakan padepokan tempat peristirahatan para gegeden. Sebenarnya, menurut Ki Ecep (sesepuh kampung), pada era enam puluhan, kampung Depok masih merupakan perkampungan dengan tradisi yang sama dengan
Baduy. Akan tetapi, setelah kampung tersebut dibumihanguskan gerombolan DI/TII, terjadi perubahan cukup signifikan. Sekarang tidak akan lagi terlihat rumah-rumah panggung berjajar menghadap kiblat.
Perjalanan Pagelaran-Depok akan melintasi sungai Cikaso. Bagi mereka yang suka akan keindahan alam, alangkah baiknya terlebih dahulu mengunjungi Batu Opak yang berada kurang lebih setengah kilometer ke arah hulu. Di tempat tersebut kita akan menyaksikan fenomena geologis, yakni batu yang berjajar secara sinergis dari arah bukit menuju sungai dengan bentuk mirip seperti opak. Penduduk sekitar menghubungkan fenomena geologis tersebut dengan legenda Sangkuriang. Yaitu, ketika Sangkuriang akan menikah, Embah
Rajadilewa (penguasa daerah selatan) mau membantu nyambungan. Akan tetapi, baru saja mereka sampai diLeuwi Tamiang, dari arah timur terlihat fajar, sehingga mereka menyimpan barang bawaannya di tempat tersebut, hingga ia berubah menjadi batu.
Bagi mereka yang baru mengunjungi tempat ini, dikampung Depok inilah bisa menemui Ki Sanang (kuncen) untuk minta diantar. Dari Depok, kita melanjutkan perjalanan menuju Cidadap dengan jarak kurang lebih setengah kilometer, perjalanan ini melewati pesawahan yang tidak terlalu luas. Di Cidadap inilah terdapat mata air yang dikeramatkan. Secara nalar, air dapat menyegarkan badan. Perjalanan baru akan mendapat tantangan manakala kita mulai merayap mendaki jalanan setapak yang cukup terjal (Cidadap-Gunung Nagara). Terkadang kita harus melewati jalanan yang kemiringannya mencapai 75 derajat. Dari Cidadap, kita tidak akan menjumpai jalanan yang datar, kanan kiri jalan masih terdapat banyak pohon besar, sehingga walaupun kelelahan kita bisa beristirahat cukup santai. Perjalanan ini jika ditempuh dengan santai paling-paling memakan waktu sekira setengah jam.
Sesampainya di puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah sampai di kompleks pemakaman. Tempat itu dikenal dengan pusaran ka hiji (kompleks pertama dikenal dengan nama Padepokan Gunung Nagara) yang di tempat ini terdapat dua puluh enam kuburan. Kuburan-kuburan tersebut relatif besar-besar. Setiap kuburan dihiasi batu “sakoja” dan batu nisan. Dinamai sakoja, karena batu tersebut berasal dari sungai Cikaso diambil dengan menggunakan koja (kantong). Kalau kita perhatikan secara seksama, komplek pekuburan tersebut tersusun secara rapi membentuk sebuah struktur organigram. Lima belas meter ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran kadua. Di tempat ini hanya terdapat dua kuburan. Sekitar dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran katilu yang hanya terdiri dari dua kuburan. Konon kabarnya, kuburan ini merupakan kuburan Embah Ageung Nagara dan patihnya.
Menurut Kepala Desa Depok, Abdul Rasyid, tiga pusaran tersebut melambangkan Alquran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang terdiri dari 26 kuburan melambangkan bagian Mufassal (surat-surat) pendek, pusaran kedua melambangkan al-mi’un dan pusaran ketiga melambangkan sab’ul matsani. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan menambah kuburan. Lebih lanjut, ia mengatakan kalau pada pusaran pertama itu terdiri dari para pengikut/pengawal yang salah satu di antaranya perempuan, pusaran kedua diyakini sebagai makam asli Prabu Kian Santang (Eyang Brajasakti) dan istrinya Ratu Gondowoni, dan pusaran ketiga merupakan kuburan Prabu Siliwangi dan patihnya. Sebenarnya, jika kita mau melanjutkan perjalanan ke arah utara, kita akan menemukan sebuah kuburan yang terpisah, konon kabarnya kuburan tersebut merupakan kuburan seorang berbangsa Arab (Syeh Abdal Jabar).
Lebih jauh, menurut Abdul Rasyid, sebenarnya situs Gunung Nagara terdiri atas beberapa peninggalan dalam bentuk barang. Namun sayang, naskah aslinya terbakar manakala gorombolan (DI/TII) menyerang Kampung Depok, sedangkan beberapa naskah lainnya yang tersisa dan barang-barang peninggalan sudah menjadi milik orang Tasik. Barang-barang yang masih ada, terpencar diperseorangan.
Bagi para peziarah yang terbiasa melakukan semedi, disyaratkan baginya untuk melakukan ritual mandi diSumur Tujuh. Sumur tersebut berada sekira setengah kilometer ke arah lembah. Sumur itu berada tepat didekat sungai kecil. Sebenarnya, sumur itu merupakan kubangan-kubangan kecil akibat dari resapan air.
Legenda Kian Santang
Menurut sebagian besar masyarakat Depok, Situs Gunung Nagara erat kaitannya dengan penyebaran Islam diwilayah Garut Selatan yang disebarkan atas jasa Prabu Kian Santang. Malahan diklaim kalau sesungguhnya daerah Leuweung Sancang merupakan tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (raja Pajajaran yang terkenal), sehingga begitu melegenda kalau di leuweung tersebut terdapat harimau jadi-jadian, bekas pasukan Prabu Siliwangi. Sementara itu, walaupun terdapat daerah yang diklaim sebagai tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi, penduduk Garut selatan meyakini bahwa kuburan asli Prabu Kian Santang itu berada di kompleks pemakaman Gunung Nagara.
Menurut mereka, keberadaan kuburan lainnya hanya merupakan tempat persinggahan Prabu Kian Santang. Misalnya saja pemakaman Godog di daerah Suci-Karangpawitan-Garut. Mereka menyatakan kalau sesungguhnya di tempat tersebut Prabu Kian Santang hanya tinggal berkontemplasi merenungi kekeliruannya dalam melakukan sunat terhadap orang yang masuk Islam. Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamakan “Godog” yang mengandung arti tempat penyucian jiwa atau dalam istilah pewayangan “Kawah Candradimuka”, dan karenanya pula tempat ketika ia turun dari daerah tersebut dinamakan “Suci”, yang berarti setelah melakukan kontemplasi ia kembali pada kesucian yang kemudian melanjutkan perjalanan menuju Garut Selatan.
Pengamat sejarah Deddy Effendie menyatakan, sebagian besar buku sejarah Indonesia tentang penyebaran agama Islam di Tatar Sunda dihubungkan dengan tokoh Fatahilah sebagai utusan Demak, yang diidentikan dengan Sunan Gunung Jati keponakan dari Prabu Walangsungsang pendiri Kesultanan Cirebon ketika pemerintahan Padjadjaran dikuasai Prabu Surawisesa atau Ratu Sanghiang (1521-1535 M).
Surawisesa pamannya Sunan Gunung Jati sedangkan Sunan Gunung Jati adalah cucu Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Padjadjaran Sri Sang Ratu Dewata, dari Lara Santang yang sejak balita mendapatkan pendidikan Islam dari ibunya Subanglarang, ujar Deddy Effendie kepada garut.go.id di Garut, Selasa.
Dia menyebutkan, Istri Prabu Siliwangi yang dikenal Nyi Mas Ambetkasih, Subanglarang dan Nyi Mas Kentringmanik Mayang Sunda. Subanglarang melahirkan tiga orang anak terdiri Rakeyan Santang Parmana, Walangsungsang dan Lara Santang, kemudian Kentringmanik Mayang Sunda melahirkan putra Mahkota yang menjadi Raja Padjadjaran generasi kedua yakni Prabu Surawisesa.
Sementara itu, Rakeyan Santang Parmana memiliki banyak nama antara lain Maulana Ifdil Hanafi, Haji Tan Eng Hoat, Haji Abdullah Iman atau Sunan Rohmat atau Sunan Godok atau Kean Santang.
Tokoh inilah yang disebut-sebut dari sumber tradisi Garut sebagai putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kean Santang diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran, petilasan yang bertalian dengan Kean Santang berada di Godog Garut berupa makam, gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.
Menurut Deddy Effendie, berdasarkan sumber tradisi Garut diceriterakan Kean Santang di Islamkan oleh Syaidina Ali (Ali bin Abi Thalib) dan memiliki pedang Nabi Besar Muhammad SAW.
Dari keterangan itu, kita dihadapkan pada kebingungan luar biasa seperti Prabu Siliwangi hidup pada abad ke 15-16 M atau menjadi penguasa Pakuan Padjadjaran pada 1482-1521 M, sedangkan Ali bin Abi Thalib hidup pada zaman Rasulallah yakni permulaan tahun Hijrah atau abad ke-6 M (579 M). Maka, rentang waktu 10 abad itu tidak masuk akal, terlebih lagi adanya anggapan bahwa Prabu Siliwangi menentang Islam, padahal istrinya Subanglarang beragama Islam, yang mendapatkan pendidikan agama sedari belia oleh Syeh Quro dipesantren Quro.
“Info Terbaru”
Berdasarkan informasi terbaru dari tokoh Ulama Mesir yang dikemukakan kepada Ir H. Dudung Fathirrohman menyatakan, Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh.
Maka jika meneliti naskah Pangeran Wangsakerta besar kemungkinan Tokoh dari Asia Timur Jauh itu adalah Prabu Kretawarman (561-628 M) Maharaja Tarumanagara generasi VIII yang memiliki dua orang putri, pertama Putri dari Calankanaya India, dan istri yang kedua berasal dari Sumatera tidak memiliki anak sehingga mengangkat anak kemudian diakuinya sebagai anaknya sendiri bernama Brajagiri.
Kretawarman merasa dirinya mandul, tahta Kerajaan diwariskan kepada adiknya Prabu Sudawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat memiliki keturunan dari anak seorang pencari kayu bakar (Wang Amet Samidha) Ki Prangdami bersama istrinya Nyi Sembada tinggal di dekat hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut.
Putrinya Setiawati dinikahi Kretawarman yang hanya digaulinya selama sepuluh hari, setelah itu ditinggalkan dan mungkin dilupakan.
Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu menuntut kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang ketika melahirkan meninggal dunia.
Anaknya oleh Ki Parangdami dopanggil Rakeyan mengingat keturunan seorang Raja, kelak Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke tanah suci hanya untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali(42) yang dikabarkan memiliki kesaktian ilmu perang/ ilmu berkelahi yang tinggi.
Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat berkelahi dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir.
Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian meneruskan berguru kepada Syaidina Ali, ujar Deddy effendie.
Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung / hutan Sancang dan gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali. Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudawarman, yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat Sang Kretawarman) turut memimpin pasukan. Rakeyan Sancang unggul, Prabu Sudawarman sempat melarikan diri yang dikejar Rakeyan Sancang, tapi tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh pertempuran terhenti kemudian mereka saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang anak Sang Kretawarman. Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera dari mulut ke mulut yang menyatakan Kean Santang mengejar Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan.
Kisah Rakeyan Sancang itupun setelah sepuluh abad kemudian terungkap kembali, ketika Walangsungsang dari Cirebon menyusuri sungai Cimanuk sampai ke hulu sungai kemudian menemukan pedang yang disebut-sebut sebagai pedang Nabi Muhammad SAW, pedang itu milik Rakeyan Santang atau Kean Santang, pemberian Ali bin Abi Thalib ketika membantu Ali dalam peperangan menagakkan Syariat Islam, Walahualam, kata Deddy Effendie mengakhiri paparan telaahan sejarahnya itu.
Dari data-data sepintas tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan kalau sesungguhnya Gunung Nagara menyimpan rahasia yang harus segera dieksploitasi, baik bagi kepentingan pendidikan ataupun bagi kepentingan pariwisata.