MAKALAH
“EKSISTENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM
PENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN INONESIA”
Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum
Dosen Pengampu :Udiyo Basuki SH.,M.Hum
Disusun Oleh :
FASMAWI SABAN SIHABUDIN - (11340184)
PRODI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah atas berkat
pertolongan Allah SWT kami penulis dapat menyajikan makalah yang berjudul “EKSISTENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENEGAKKAN HUKUM & KEADILAN” didalamnya membahas berbagai
masalah yang ada pada materi tersebut baik itu dari berbagai pandangan yang
ada, untuk dijadikan sebuah pegangan yang bisa untuk kita menambah ilmu
pengetahuan.
Selanjutnya makalah
ini disusun untuk melengkapi tugas prodi Ilmu Hukum dalam matakuliah “PENGANTAR ILMU HUKUM” di UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA disamping
itu juga sebagai pembelajaran bagi kami penulis untuk mengetahui masalah –
masalah yang ada pada materi tersebut.
Penulis menyadari
sepenuhnya, bahwa makalah ini masih sangant jauh dari pada sempurna, baik isi,
susunan kalimat maupun sistematika pembahasannya. Untuk itu tegur, sapa, saran
dan nasehat para pembaca dan dosen pengampu senantiasa kami harapkan demi
kesepurnaan makalah kami ini,.
Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Yogyakarta, 21 Desember 2011
penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sebagai makhluk Sosial (Zoon Politicon)
manusia dalam berinteraksi satu sama lain sering kali tidak dapat menghindari
adanya bentrokan – bentrokan kepentingan (Conflict
Of interest) diantara mereka. Konflik yang terjadi dapat menimbulkan
kerugian, karena biasanya disertai dengan pelangaran hak dam kewajiban dari
pihak satu terhadap pihak lain. Konflik – konflik semacam itu tidak mungkin
dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan saran hukum untuk menyelesaikannya.
Dalam keadan seperti itulah, hukum diperlukan untuk mengatasi berbagai
persoalan yang terjadi. Sebagaimana ungkapan “ubi societas ibi ius” atau dimana ada masyrakat, mak disitu perlu
hukum. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan
manusia, tanpa hukum kehhidupan manusia akan liar, siapa kuat diyalah yang
menang / berkuasa. Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalm
mempertahankan hak dan kewajibannya.Dalam rangka menegakan aturan – aturan
hukum, maka di negara hukum seperti Indonesia ini, diperlukan adanya suatu
istitusi yang dinamakan kekuasaan kehakiman (Judicative Power). Kekuasaan
kehakiman ini bertugas untuk menegakan dan mengawasi berlakunya peraturan
perundang – undangan tang berlaku (Ius Constitutum)Guna terwujudnya keadilan i indonesia.
B.Rumusan Masalah
- Bagaimanakah Eksistensi
atau tugas kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan?
meskipun dalam
kenyataanta ada salah satu hukum atau kehakiman yang menyimpang dari aturan
perundang – undangan itu adalah salah satu bentuk dari sebuah permasalahan yang
sangat disayangkan oleh semua pihak yang terkait dalam masalah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Dan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakan dan
mengawasi berlakunya peraturan perundang – undangan tang berlaku (Ius
Constitutum). Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan
manusia, tanpa hukum kehhidupan manusia akan liar, siapa kuat diyalah yang
menang / berkuasa. Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam
mempertahankan hak dan kewajibannya.
Indonesia adalah negara hukum, sudah selayaknya
menghormati dan menjunjug tinggi prinsip – prinsip hukum, salah satunya adalah
diakuinya prinsip keadilan yang bebas yang tidak memihak. Tolak ukuran dapat
dilihat sejauh mana kemandirian badan – badan peradilan dalam menjalankan tugas
dan kewenanganya terutama dalam menegakan aturan perundang – undangan (Hukum) dan keadilan. Maupun jaminan yuridis adanya
kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan
kehakiman dalam praktek diselengarakan oleh adan – badan peradilan Negara.
Adapun tugas pokok badan peradilan negara adalah memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara – perkara yang diajukan oleh masyrakat pencari
keadilan.
Sebagai istitusi
yang dibutuhkan masyrakat, usia
pengadilan sudah berbilang ribuan tahun, jauh mendahului usia pengadilan
moderen. Urusan atau pekerjaan mengadili adalah salah satu sekian banyak fungsi
yang harus ada dan dijalankan oleh masyarakat, sebagai respon terhadap adanya
kebutuhan tertentu. Mengadili adalah pekerjaan yang dibutuhkan untuk membuat
masyrakat menjadi tentram, dan produktif. Didalam masyrakat akan selalu muncul
persoaln diantara para angotanya harus diselesaikan. Persoalan – persoalan yang
tidak diselesaikan akan menjadi ganguan bagi ketentraman dan produktifitas
masyrakat. Suatu istitusi mesti dimunculkan untuk menjalankan fungsi tersebut
dan ia adalah Pengadilan.
Kemudia secara
khusus, kekuasaan kehakiman telah diatur dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman. Dengan demikian UU No. 4 tahun 2004 merupakan undang –
undang yang organik. Sekaligus sebagai induk dan kerangka umum yang meletakan
asas – asas, landasan, dan pedoman bagi seluruh lingkungan peradilan di
Indonesia. Pasal 10 ayat (1,2) UU No. 4 tahun 2004, menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya, dan sebuah Makamah Konstitusi. Adapun badan peradilan yang berada
dibawah Makamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan :
a.
Peradilan Umum
b.
Peradilan Agama
c.
Peradilan Militer
d.
Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam menyelengarakan kekuasaan
kehakiman tersebut, Makamah Agung bekedudukan sebagai pengadilan negara
tertinggi yang membawai semua lingkungan peradilan di Indonesia, baik
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan
tata uasah negara.
Mengenai kedudukan dan wewenang masing –
masing lingkungan peradilan tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam beberapa
perundang – undangan, yakni :
a.
UU No. 14 tahun 1985 tentang Makamah Agung dan
beberapa perubahanya dalam UU No. 5 tahun 2004
b.
UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum dan
beberapa perubahanya dalam UU No. 8 tahun 2004
c.
UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha
negara dan beberapa perubahannya dalam UU No. 9 tahun 2004
d.
UU No. 7 tahun 1986 tentang peradilan agama dan
beberapa perubahannya dalam UU No. 3 tahun 2006
e.
UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer
f.
UU No. 24 tahun 2003 tentang Makamah Kostitusi
g.
UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi yudisial
Sasaran penyelengaraan
kekuasaan kehakiman adalah untuk menumbuhkan kemandirian para penyelengara
kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas.
Kemandirian para penyelengara dilakukan dengan cara meningkatkan integritas
pengetahuan dan kemampuan. Sedang peradilan yang berkualitas merupakan produk
dari kimerja para penyelengara peradilan tersebut.
Kemandirian
kekuasaan kehakiman merupakan persyaratan penting dalam melakukan kegiatan
pememuan hukum oleh hakim di pengadilan. Kemandirian atau kebebasan kekuasaan
kehakiman berarti tidak adanya intervensi dari pihak – pihak extra judicial lainya, sehinga dapat
mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam menjalankan tugas
– tugasnya di bidang Judisial, yaitu dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan
sengketa yang diajukan oleh pihak – pihak yang berperkara. Lebih lanjut kondisi
ini diharapkan dapat menciptakan putusan hakim yang berkualitas, yang
mengandung unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Salah seorang
hakim merasa bahwa kasus – kasus kriminal tidak perlu menyita perhatianya
tetapi ia merasa perlu memeliti setiap detail undang – undang kriminal
tersebut. Dan pengaruh tertentu yang mendorong para hakim itu untuk berusaha
mengikuti “hukum.” secara
analitis, apa yang terjadi pada para hakim itu berlangsung melalui dua tahap.
Pilihan pertamanya adalah apakah hendak mengikuti “Hukum” atau tidak. Sikap –
sikap, nilai, dan konteks sosial menentukan pilihan ini. Pilihan kedua adalah
keputusan aktual. Bagaimanapun juga, bagi hakim ini akan berarti bahwa ia
selalu “Terikat” oleh huku.
Pegadilan juga
dapat digantungkan pada tingkat perlapisan sosial dalam masyrakat, semakin
kompleks perlapisaan sosial dalam masyrakat semakin besar pula perbedaan nilai
– nilai dan kepentingan antara lapisan dalam masyrakat. Pengadilan disitu sudah
menjadi istitusi untuk melindungi kepentingan golongan yang dominan dengan
memaksakan berlakunya berlakunya mempertahankan kedudukan mereka. Sebaliknya
dalam masyrakat yang lebih sederhana, yaitu dengan tingkat yang perlapisan
sosial yang rendah maka kesepakatan nilai – nilai relatif lebih mudah untuk
dicapai.
Meskipun
demikian, kemandirian kekuasaan kehakiman harus disertai dengan integritas
moral, keluhuran, dan kehormatan martabat hakim, karena kalau tidak maka
manipulasi dan mafia peradilan bisa saja berlindung dibawah independensi
peradilan, sehiga para hakim yang menyalah gunakan jabatan menjadi sulit
tersentuh hukum. Praktek mafia peradilan terutama “Judicial corruption” menjadi
semakin sulit diberantas, jika tidak para “hakim Nakal” berlindung pada asas
kemandirian atau indenpendensi kekuasaan kehakiman yang diletakan tidak pada
tempatnya. Pada pasal 1 UU No. 4 tahun 2004 disebutkan bahwa kebebasaan dalam
melaksanakan wewenang judisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah
untuk menegakan hukum keadilan berdasarkan pancasila, sehinga putusanya
mencerminkan rasa keadialan rakyat Indonesia.
B. Hakim dan penegakan keadilan
Hakim merupakan
salah satu angota dari Catur Wangsa Penegak Hukum di Indonesia. Sebagai penegak
hukum, hakim mempunyai tugas pokok dibidang Juridisial, yaitu menerima,
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadnya.
Dengan tugas seperti itu, dapat dikatakan bahwa hakim merupakan pelaksana inti
yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Oleh karen itu
keberadaanya sangat penting dan diterima dalam menegakkan hukum dan keadilan
melalaui putusan – putusanya.
Para pencari
keadilan (justiciablellen) tentu
mendambakan perkara – perkara yang diajukan kepengadilan dapat diputus oleh
hakim – hakim yang propesional dan memiliki integritas moral yang tinggi,
sehinga dapat melahirkan putusan – putusan tang tidak saja mengandung legal
justice, tetapi juga berdimensikan moral
justice dan social justice.
Akan tetapi
dalam parakteknya sering kali dijumpai para pencari keadilan merasa tidak puas
dan kecewa terhadap kinerja hakim yang diangap tidak bersikap mandiri dan tidak
profesional. Bayangkan intervensi dan tekanan pihak luar terhadap hakim,
terkadang membuat kinerja hakim tidak lagi optimal, atu bahkan memilih bersikap
oprtunis. Tidak semua hakim dapat mengatakan yang benar adalah benar, dan yang
salah adalah salah. Kondisi ini memeunculkan “Mafia Peradilan” yang
menghalalkan segala cara seperti jual beli perkara, yang semakin menambah
coreng moreng dunia peradilan.
Putusan –
putusan yang bersifat terkadang kontroversial salah satu faktor penyebab adalah
adanya korupsi peradilan (judicial corruption), yang lebih populer disebut
dengan mafia peradilan, yaitu adanya kospirasi dan penyalahgunaan wewenag
diantara aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi
sendiri.
Memang tiadak
mudah bagi hakim untuk membuat putusan, karena idealnya putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi tiga unsur
yaitu, keadilan (Gerechtigkeit),
kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan
kemanfaatan (Zwechtmassigkeit).
Ketiga unsur tersebut semestinya oleh hakim harus dipertimbangkan dan
diterapkan secara proposional sehinga pada giliranya dapat dihasilkan putusan
yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan.
Mochtar
Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hakim dalam memeriksa dam memutuskan perkara,
bebas dari campur tangan masyrakat, ekskutif, maupun legislatif. Dengan
demikian kebebasan yang dimilikinya itu diharapkan hakim dapat mengambil
keputusan berdasrkan hukum yang berlaku dan juga berdasrkan keyakinannyayang
seadil – adilnya serta memberi manfaat bagi masyrakat. Dengan demikian, hukum
dan badan – badan pengadilan akan dapat berfungsi sebagai penegak masyrakat
dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.
Antara unsur
keadilan dengan kepastian hukum yang biasa saja saling bertentangan. Berikut
ini dua kasus yang sangat relevan untuk mengambarkan adanya kemungkinan
benturan antara aspek keadilan dan kepastian hukumyaitu dalam kasus “Kedung
Ombo”, tentang sengketa ganti rugi pembebasaan tanah yang akan digunakan sebagai
proyek waduk. Dan kasus “Sengketa Pilkada Depok”, tentang penghitungan suara
yang terjadi adanya pengelembungan suara dari salah satu pihak partai politik.
Paparan dua
kasus diatas, baik kasus “Kedung Ombo” maupun “Sengketa Pilkada Depok” sangat
relevan mengambarkan adanya benturan – benturan antara aspek kepastian hukum
dengan keadilan. Dalam berbagai ajaran Doktrin ajaran hukum dari para ahli
hukum dan ajaran islam sendiri nampaknya lebih ditekankan pada aspek keadilan
dalam menjatuhkan putusan. Pendapat ahli hukum yang dikemukakan oleh Sudikno
Mertokusuma dalam bukunya “pememuan
hukum sebuah pengantar” sebagai berikut:
“Ketiga unsur itu seberapa dapat harus ada dalam
putusa secara proposional. Akan tetapi didalam prakteknya jarang terdapat
putusan yang mengandung tiga unsur tersebut diatas secra proposional. Kalau
dalam pilihan putusa sampai terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum
serta kemanfaatan maka keadilanyalah yang harus didahulukan”.
Untuk itu dalam
pangung penegakan hukum di Indonesia, dibutuhkan kehadiranya pada para penegak
hukum yang bervisi keadilan, dan penguasa yang bersikap adil, sebagaimana dalam
cita hukum tradisional bangsa Indonesia diiastilahkan dengan “Ratu Adil”
seperti yang di impikan palto dengan konsep “Raja yang berfilsafat” (Filisofher King) ribuan tahun yang
silam.
Makamah Agung
dalam intruksinya No. KMA/015/INST/VI/1998 tangal 1 Juni 1998 mengintruksikan
agar para hakim menetapkan profesionalisme dalam mewujudkan peradilan yang
berkualitas, dengan menghasiklan putusan hakim yang eksekutabel, berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan nilai tata
budaya yang berlaku dalam masyrakat), serta logos
(dapat diterima akal sehat) demi
terciptanya kemandirian para penyelengara kekuasaan kehakiman.
Berbagai faktor
yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugas dan kewenanganya
sesungguhnya sangat kompleks. Namun demikian, pada prinsifnya faktor – faktor
yang mempengaruhi tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor Internal dan Faktor Eksternal. Faktor Internal adalah faktor yang muncul dari
dalam diri hakim sendiri. Jadi faktor internal berkaitan dengan kualitas SDM
hakimnya, yang dapat bermula dari cara rekruitmennya yang tidak objektif,
integritas kurang, tingkat pendidikan/keahlian dalam kesejahteraah yang kurang
memadai. Sedang faktor eksternal
adalahfaktor yang datang dari luar diri hakim terutama berkaitan dengan sistem
peradilan atau sistem penegakan hukumnya yang kurang mendukung kinerja hakim. Dalam
hal ini dapat disebabkan karena masalah instrumen hukumnya (perundang –
undanganya), ada intervensi dan tekanan dari pihak luar, tingkat kesadaran
hukum, sarana dan prasarana, sistem birokrasi/pemerintahanya dan lain – lain.
Dengan demikian kemandirian hakim berkorelasi positif dengan penegakan
supremasi hukum itu sendiri.
C. Tugas dan Kewajiban Hakim
Hakim merupakan pelaku inti yang secara
fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasaan
kehakiman tersebut, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibanya
sebagaimana telah diatur dalam perundang – undangan. Setelah memahami tugas dan
kewajibannya, selanjutnya hakin harus berupaya secara propesional dalam
menjalankan dan menyelesaikan pekerjaanya.
Hakikatnya tugas
pokok hakim adalah, menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Meskipun tugas dan
kewajiban hakim dapat diperinci lebih lanjut, yang dalam hal ini dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu tugas
hakim secara normatif dan tugas hakim secara konkret dalam mengadili suatu
perkara.
Beberapa tugas
dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara normative telah diatur
dalam UU No. 4 tahun 2004 antara lain :
- mengadili menurut hokum dengan
tidak membedakan orang ( pasal 5 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 ).
- Membantu para pencari keadilan dan
berusaha sekeras – kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan demi
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biyaya ringan ( pasal 5
ayat 2 ).
- Tidak boleh menolak untuk memeriksa
dan mengadili suatu perkara yang dijatuhkan dengan dalih bahwa hokum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya ( Pasal
14 ayat 1 ).
- Memeberi keterangan, pertimbngan
dan nasehat – nasehat tentang soal – soal hokum kepada lembaga Negara
lainya apabila diminta ( pasal 25 ).
- Hakim wajib mengali, memngikuti dan
memehani nilai – nilai hokum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyrakat
( pasal 28 ayat 1 ).
Diasmping itu
tugas hakim secara normative sebagaimana ditentukan dalam perundang – undangan,
hakim juga mempunyai tugas – tugas secara kongret dalam memeriksa dan mengadli
suatu perkara melalui tiga tindakan
secara bertahap, yaitu :
- Mengkonstatir
(
mengkonstatasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konret. Hakim
mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah dijatuhkan
para pihak dimuka persidangan. Syaratnya dalah peristiwa konret itu harus
dibuktikan terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim yidak boleh menyatakn
suatu peristiwa konret itu bener – benar terjadi. Jadi mengkostatir
berarti menetapkan peristiwa konret dengan membuktikan peristiwa atau
mengangap atau terbuktinya peristiwa tersebut.
- Mengkualifisir ( mengkualifikasi ) yaitu
menetapkan atau merumuskan suatu hukumnya. Hakim nenilai peristiwa yang
telah diangab benar – benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang
mana seperti apa. Dengan kata lain menkualifisir adalah menemukan hukumnya
terhadap peristiwa yang telah dikostatir dengan jalan menerapkan peraturan
hukum terhadap peristiwa tersebut. Mengualifikasi dilakukan dengan cara
mengarahkan peristiwanya kepada hukum atau undang – undangnya, agar aturan
hukum atau perundang – undangan tersebut dapat diterapkan pada
peristiwanya.. sebaliknya undang – undangnya juga harus disesuaikan dengan
peristiwanya agar undang – undang
tersebut dapat mencakup atau meliputi peristiwanya.
- Mengkostituir ( mengkostitusi ) atau memeberikan
kostitusinya, yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberikan keadilan kepada
para pihak yang bersangkutan. Disini hakim mengambil keputusan dari adanya
premis mayor ( peraturan hukumnya ) dan premis minor ( peristiwa). Dalam
memeberikan keputusan, hakim perlu memperhatikan factor yang memberikan factor
yang seharusnya diterapkan secara proposional yaitu keadilan ( grechtigkeit ), kepastian hukumnya ( rechtssicherheit ), dan kemanfaatanya ( zweckmassingkeit ).Gr. Van der Brught dan J.D.C Wilkelman
menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seoprang hakim dalam
menyelesaikan kasus atau peristiwa, yaitu :
a. Meletakan kasus dalam peta ( memetakan Kasus ) atau
memeparkan kasus dalam sebuah ihtiar (Peta),artinya memaparkan secara singkat
duduk perkara dari sebuah kasus ( mensekematisasi).
b. Menrjemahkan kasus itu kedalam peristilahan yuridis
(Mengkualifikasi, Pengkualifikasian).
c.Menyeleksi aturan – aturan hukum yang relevan.
d.
Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap
aturan – aturan hukum itu.
e.
Menerapkan aturan – aturan hukum pada kasusnya.
f.
Mengevakuasi dan menimbang (mengkaji) argumen – argumen
dan penyelesaian.
g.
Merumuskan formulasi penyelesaiaan.
Disamping
itu dalam melaksanaakn dan memimpin jalanya proses persidangan, pada prinsipnya
majelis hakim tidak diperkenankan menunda – nunda persidangan tersebut. Pasal
159 ayat 4 HIR atau pasal 186 ayat 4 RBg menyebutkan : “pengunduran
(penundaan) tidak boleh diberikan atas permintaan keda belah pihak dan tidak
boleh diperintahkan Pengadilaan Negeri karena jabatanya, melainkan dalam hal
yang terlambat perlu” Dalam praktik hakim terkadang
terlalu lunak sikapnya terhadap permohonaan persidangaan dari para pihak atas
kuasnya. Adapun beberapa hal yang sering menyebabkan tertundanya sidang antara
lain :
1.
Tidak hadirnya para pihak atau kuasanya secara
bergantian.
2.
Selalu minta ditundanya sidang oleh para pihak.
3.
Tidak datangnya saksi walau sudah dipangil.
Untuk
mengatisipasi hal tersebut maka diperlukan peran hakim yang aktif terutama dalam mengatasi hambatan dan
tintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang cepat (Speedy Administration Of Justice). Perlu ketegasaan hakim untuk
menolak permohonaan penundaan persidangaan dari pihak, kalau berangaapan hal
itu tidak perlu. Berlarut – latutnya atau tertunda – tundanya jalanya peradilan
akan mengurangi kepercayaan masyrakaat kepada peradilaan yang mengakibatkan
berkurangnya kewibawaan pengadilan (Justice
Delayet Is Justice Denied).
BAB III
KESIMPULAN
Untuk mengakhiri makalah ini. Berdasarkan
pada urain makalah diatas dapat kita
simpulkan bahwa :
a.
Hakim sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan
manusia guna terwujudnya keadilan, tanpa hukum manusia akan liar, dan tugas
pokok hakim adalah memeriksa mengadili memutus dan menyelesaikan masalh atau
perkara – perkara yang diajukan oleh masyrakat para pencari keadilan.
b.
Kekuasaan kehakiman untuk menumbuhkan kemandirian para
penyelenhara kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kehakiman peradilan
yang berkualitas dengan meningkatkan integritas, ilmu pengetahuaan dan
pengalaman.
c.
Kemandirian kekuasaaan kehakiman harus disertai dengan
integritas moral, keluhuran dan kehormatan martabat hakim karena kalau tidak
maka manipulasi dan mafi peradilan bisa saja berlindung dibawah independensi
peradilan, sehinga para hakim yang menyalah gunakan jabatanya menjadi sulit
disentuh hukum.
d.
Hakim mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku
dan juga berdasarkan keyakinanya yang seadil – adilnya serta memberi manfaat
bagi masyrakat sehinga dapat berfungsi sebagai pengerak masyarakat dalam
pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.
e.
Hukum itu netral yakni tidak memihak pada pihak –pihak
tertentu dan hakim juga harus mengadili menurut hukum yang berlaku dan yang
sudah ditetapkan oleh undang – undang, oleh karena itu putusanya harus
berdasarkan hukum itu, dan harus mengandung
atau menjamin kepastian hukum yang berarti bahwa ada jaminan bahwa hukum
dijalankan, dan dismping itu pula putusan hakim harus bermanfaat baik bagi yang
bersangkutan maupun bagi masyrakat.
DAFTAR PUSTAKA
A.Mukit,
Arto,”Mencari Keadilan”, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta,2001
Danang Widoyoko, et. Al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW, Jakarta,2002
Friedman, Lawrence M., “Sistem
Hukum Persfektif Ilmu Sosial”, Musa Media, Bandung, 2009
Mocthar, Kusumatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam
Pembangunan Nasional, Fak. Hukum Universitas Pajajaran, Bina Cipta,
Bandung, 1986
Munir, Fuady, “Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidak Berdayaan Hukum”, Citra Abady
Bakti, Bandung, 2003
Rahardjo, Satjipto. “Sosiologi Hukum”,
Muhamadiyah University Press, Surakarta, 2004
Sarwata, Kenijaksanaan
Strategi Penegakan Sistem Peradilan Di Indonesia, Lemhanas, 19 Agustus 1997
Shidarta,”Karakteristik Penalaran Hokum Dalam Konteks
Ke Indonesiaan”, Universitas Katolik Parayangan, 2004
Soerjono Soekamto, Faktor
– Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, 1990
-----------------------------,”Penemuaan Hokum Sebuah Pengantar”,
Liberty, Yogyakarta, 1996
Sutiyoso,Bambang,”Metode Penemuan Hokum”, UUI Press, 2006